Pentingnya Tradisi dan Berpikir Kritis Menggunakan Teknologi
Oleh : Ahmad Miftahul Farohi
Desa, mungkin sudah tak asing lagi kita dengar. Dalam perspektif banyak orang, desa sering digambarkan sebagai tempat yang memiliki alam yang indah, sejuk, damai dan masyarakat yang tenteram, serta terkenal kental akan tradisi. Meskipun beberapa tradisi telah berubah lantaran masuknya penyebaran agama di Indonesia.
Masuknya agama tersebut –terlebih Islam– tidak didasari dengan penghilangan budaya yang telah melekat pada masyarakat kala itu. Masuknya Islam menggunakan pendekatan atau akulturasi budaya yang dimodifikasi sedemikian rupa oleh para penyebar agama. Akulturasi budaya dimaksudkan agar agama tersebut tidak sulit diterima dan diikuti oleh masyarakat setempat.
Pendekatan yang menarik untuk dilakukan kepada masyarakat adalah pendekatan melalui bidang seni. Hal itu dikarenakan masyarakat kala itu amat banyak yang menyukai seni, baik seni ukir, musik, ataupun tarian. Seperti seni pertunjukan wayang yang digunakan berdakwah oleh Sunan Kalijaga, seni gamelan oleh Sunan Bonang, Tari Saman di Aceh, dan masih banyak lagi pendekatan dalam bidang seni. Pendekatan-pendekatan melalui seni dimodifikasi dan diisi dengan nilai-nilai keagamaan, sehingga sedikit demi sedikit dapat dipastikan masyarakat setempat akan memahami agama tersebut dan tertarik kepadanya. Dari situlah tata cara penyebaran kemudian beralih ke perkawinan dan mulai berfungsi untuk mendakwahkan sebuah agama.
Kekentalan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat desa menjadi tameng dari pengaruh luar, terutama para orang tua yang tetap mempertahankan tradisi tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan tradisi-tradisi tersebut hilang dan ditinggalkan. Penyebabnya selain karena para orang tua sudah banyak yang pupus, juga karena para anak muda yang memang malas bahkan tidak ingin mempertahankannya. Bahkan, di saat para orang tua yang mempertahankan tradisi sendiri masih ada, para anak muda dengan acuhnya enggan mengikuti dan mengerjakan apa yang para orang tua lakukan. Banyak alasan yang dilontarkan, mulai dari berbenturan dengan masalah agama atau mungkin masalah lainnya. Padahal, tradisi yang dilakukan tidak melanggar aturan agama yang ada, karena memang telah dimodifikasi oleh para penyebar agama terdahulu agar tradisi tersebut tetap ada dengan mengandung nilai ibadah dan dakwah yang berpahala. Salah satu contohnya tradisi riungan yang diadakan ketika seseorang telah meninggal dari malam pertamanya hingga ketujuh, keempatpuluh, keseratus, dan bahkan satu tahunnya peringatan –biasa kita sebut dengan sebutan haul–. Entah apa yang menjadi landasan mereka meninggalkan tradisi untuk tetap diterapkan di era ini.
Di era modern ini, perkembangan kemajuan teknologi semakin canggih dan merajalela. Akses informasi semakin mudah dengan adanya internet. Apapun bisa dilakukan hanya dengan menekan dan menekan tombol, baik pada layar handphone, komputer atau sejenisnya. Namun, kemajuan teknologi ini tidak selamanya berdampak positif, ada juga dampak negatif yang hadir. Informasi-informasi yang tersedia di internet juga tidak selamanya benar, harus ada pengecekan terlebih dulu terkait informasi yang didapatkan. Apakah informasi tersebut berasal dari sumber yang dapat dipercaya ataukah dari sumber yang abal-abal, apakah informasi tersebut bermanfaat ataukah justru malah jadi madharat, harus diteliti dahulu sejauh mungkin hingga terbukti kebenaran dan keaslian informasinya.
Salah satu informasi yang sering beredar adalah isu terkait agama. Tidak sedikit isu tentang agama tersebut memakan banyak korban di Indonesia. Bukan korban tewas ataupun meninggal, melainkan korban pemikiran yang bertebaran dimana-mana. Ketika mendapat isu tentang agama tersebut, kebanyakan orang langsung berpikiran bahwa itu benar sesuai yang viral diberitakan. Padahal, belum tentu yang diberitakan sesuai dengan faktanya.
Kita ambil contoh kasus Etnis Uighur di Tiongkok. Diberitakan bahwasanya Umat Muslim Etnis Uighur dibantai habis-habisan oleh pasukan militer, semua orang langsung percaya itu. Tanpa mencari tahu kebenaran informasi tersebut, kebanyakan orang di sekitar kita bahkan menyimpulkan bahwasanya Tiongkok selalu meneror orang Muslim di negaranya.
Padahal faktanya, tak semuanya seperti itu. Tidak semua orang Muslim di China dibantai dan dikekang dalam masalah beribadah. Tidak semua Etnis Uighur mendapat perlakuan keras dari pasukan militer Tiongkok. Menurut kabar yang disampaikan oleh beberapa kader NU yang sedang berkesempatan kuliah di Tiongkok, semua orang bebas beribadah di China sesuai keyakinan masing-masing, asalkan tidak di tempat terbuka dan umum–selain di masjid yang tersedia–, harus di tempat tertutup dan tidak dilihat banyak orang.
Adapun Etnis Uighur yang dibantai dan dikekang sebagaimana yang tersebar di berita sosial media adalah mereka yang keras dan radikal terhadap agamanya, layaknya ISIS di Suriah dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sedangkan mereka-mereka yang damai dan toleran dalam beragama mendapat perlakuan yang sama dengan warga negara lainnya. Tidak ada pembantaian juga pengekangan dalam beribadah. Karena itu ketika mendengar isu etnis Uighur, negara-negara Muslim di Timur Tengah memberi apresiasi terhadap Tiongkok dalam menumpas kefanatikan dan radikal dalam beragama.
Beda halnya dengan di Indonesia, isu Uighur malah mendapat perhatian simpati dari masyarakat. Marak sekali beredar tagar aksi bela Uighur di sosial media. Bahkan ada yang sampai demonstrasi ke kedutaan besar Tiongkok di Indonesia. Anehnya lagi, masyarakat desa sekalipun yang biasanya masa bodoh terhadap semacam kasus tersebut, yang biasanya lebih mementingkan kehidupannya sehari-hari jusrtu ikut-ikutan membagikan link website kasus Uighur di sosial media, dan bahkan ada yang sampai ikut demo. Dan salah satunya teman satu SD penulis. Ketika penulis tanya apakah kamu tahu persis tentang kasus Uighur tersebut? Dia menjawab hanya tahu bahwa China menyiksa umat muslim. Miris sekali melihat mereka yang tidak tahu persis fakta yang terjadi dan malah menjadi korban pemikiran dan berita bohong. Di sinilah peran berpikir kritis amatlah penting. Agar bisa teliti dalam menerima sebuah kabar dan tidak termakan kabar yang kurang jelas, apalagi jika sebuah kabar tersebut merupakan hoaks.
Sangat disayangkan ketika masyarakat desa meninggalkan apa yang telah menjadi tradisi yang berdampak positif dan lebih memilih ikut-ikutan hal yang ia sendiri belum mengetahui secara jelas. Salahnya lagi, beberapa dari mereka tidak ingin mencari tahu informasi sebenarnya.
Mereka beranggapan “asalkan ikut eksis” dalam kegiatan tersebut dan hanya sebatas insta story maupun WhatsApp story. Dari sini, diharapkan semoga beberapa anak desa yang sedang mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi dapat menjadi pelopor peradaban di desa agar masyarakat desa memiliki kemampuan berpikir kritis dengan setia dan tidak meninggalkan tradisi positif yang sudah ada.
Penulis adalah Aggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Univesitas Sultan Ageng Tirtayasa, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika Untirta dan Anggota Komunitas Petani Literasi.
Editor : Rahman Wahid
Sumber : https://www.mindset.id/pentingnya-tradisi-dan-berpikir-kritis-menggunakan-teknologi/